6
MITOS PEMBELAJARAN KOLABORATIF
PENDAHULUAN
Pengertian
Mitos
Mitos
berasal dari bahawa Yunani yaitu ‘mythos’ yang berarti ‘cerita’. Secara umum
kata mitos digunakan secara berbeda. Pertama, secara akademik, seringkali mitos
diartikan sebagai cerita yang bersifat suci yang meliatkan simbol-simbol dengan
multi makna. Cerita yang bersifat suci tersebut mengandung makna
religius atau spiritual. Penggunaan kedua adalah penggunaan kata mitos dalam
arti umum. Di sini, mitos dimaknakan sebagai sekolompok kepercayaan (beliefs)
yang dianut oleh orang yang menuturkan cerita tersebut. Hal ini bersifat
subjektis dan terkadang menimbulkan rasa tersinggung jika suatu cerita yang
dianggap benar oleh seseorang, dianggap sebagai ’mitos’ oleh orang lain
(Wikipedia dictionary, 2009).
Lebih lanjut,
mitos mengandung beberapa karakteristik (Magoulick, 2008), antara lain:
· Sebuah cerita
yang dianggap sebagai penjelasan yang ’benar’.
· Bersifat
fungsional dalam interaksi sosial, misalnya bagaimana hidup dengan ’benar’,
asumsi dan nilai-nilai (values) yang dianggap ’benar’, inti makna
dari individu, keluarga dan komunitas sosial.
· Menimbulkan
miteri dan ’ketidaktahuan’
Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, karakteristik mitos
yang bersifat fungsional yang dicetuskan oleh Malinowski (dalam Yero, 2002a)
tampaknya menjadi dominan, dimana nilai-nilai, asumsi, pedoman hidup yang
mengarahkan perilaku manusia dalam kehidupan sosial menjadi ciri utama dari
sebuah mitos.
Mitos dalam Pendidikan
Yero (2002a) mengungkapkan bahwa mitos adalah cerita yang
secara sosial dan kultural dianggap sebagai ’realitas’ yang dibangun manusia
dari waktu ke waktu. Individu dalam dunia pendidikan, secara kolektif juga
dapat memiliki kesamaan makna yang kelak menjadi ’cerita dalam kelompok’ (group
story) yang kelak dapat menjadi sebuah mitos. Mitos ini dianggap
’benar’ sejauh hal itu mencerminkan dan diterima oleh kultur dari
masyarakat tersebut. Sejalan dengan waktu, budaya masyarakat tersebut mengalami
perubahan. Perubahan ini terjadi karena adanya pengetahuan baru, atau penemuan
baru. Namun demikian, mitos yang ada tidak mudah pudar begitu saja. Mitos ini
baru akan pudar, jika hal tersebut sudah dianggap tidak terlalu memiliki
relevansi lagi dengan pengalaman kultural yang dialami masyarakat saat ini.
Dalam dunia pendidikan, hal ini juga terjadi, dimana
nilai-nilai dan praktek-praktek pendidikan yang dianggap ’benar’ dan diyakini
oleh masyarakat dan diterima secara sosial dan kultural, cenderung bertahan dan
relatif sulit untuk diubah dengan cepat. Contoh, dalam praktek pendisiplinan
siswa di berbagai daerah di Indonesia, berdasarkan pengalaman penulis, masih
cukup banyak guru yang menggunakan kekerasan (corporal punishment) untuk
mendisiplinkan siswa.
Comb (dalam Yero, 2002b) menyatakan beberapa sisi negatif
dari mitos yang dapat menjelaskan contoh yang diungkapkan di atas. Pertama,
mitos diungkapkan sebagai dikotomi sehingga dapat menghambat penggunaan
strategi yang variatif dan berbeda. Contohnya, pembelajaran secara individu
atau kolaboratif, standardisasi penilaian atau penilaian secara individual,
atau misalnya pendisiplinan yang bersifat ’keras’ dengan tindakan yang ’keras’
atau mengandung kekerasan, atau pendisiplinan siswa tanpa kekerasan.
Kedua,
mitos dapat menjustifikasi tindakan guru. Akan selalu ada alasan pembenaran
mengenai penggunaan kekerasan dalam pendisiplinan siswa. Misalnya: ‘Oh ini
memang sesuai kultur di Indonesia bagian timur, ini bukan seperti di Jawa’ atau
‘Jika tidak dengan cara demikian, siswa di sini tidak akan menurut atau
menghormati gurunya’.
Ketiga,
mitos dapat terinstitusionalisasi sehingga jika dipertanyakan, akan menimbulkan
resistensi. Misalnya jika ada guru yang mempertanyakan praktek penggunaan
kekerasan untuk mendisiplinkan siswa, ia dapat dianggap ‘aneh’ karena hal itu
begitu umum terjadi dan dipraktekan sehari-hari di daerah tersebut.
Namun
demikian, di sisi yang lain, mitos juga dapat menjadi suatu hal yang bersifat
positif. Misalnya sehubungan dengan karakteristik guru yang efektif, terdapat
beberapa kepercayaan (beliefs) yang dapat menjadi suatu mitos (Yero,
2002b), yaitu bahwa: semua siswa mampu belajar, namun dengan cara yang
bervariasi, atau pendekatan yang holistik dapat membantu siswa belajar dengan
lebih baik. Guru, sebagaimana dengan siswa juga sebagai sesama pembelajar. Atau
bahwa guru harus mengenal siswa secara infividual pula sehingga dapat mendukung
perkembangan intelektual, sosial maupun emosional siswa.
‘Beliefs’
yang dapat menjadi mitos ini, jika diterima oleh masyarakat sebagai suatu
‘kebenaran’, akan dapat mengubah praktek pendidikan sehari-hari di sekolah.
Oleh karena itu, jika saat ini hal-hal yang tersebut di atas dianggap sebagai
suatu praktek pendidikan yang ‘benar’, maka mitos lama secara berangsur akan
terkikis dan digantikan oleh mitos baru tersebut. Di sinilah tugas dari para
pemangku kepentingan (stakeholders) untuk berupaya secara kolektif
mengikis praktek pendidikan yang didasarkan oleh ‘mitos’ lama, dengan praktek
pendidikan yang didasarkan oleh ‘mitos’ yang baru tersebut.
Sebagai
kesimpulan, mitos dalam dunia pendidikan lebih bersifat fungsional. Artinya,
ada nilai-nilai, pendapat, praktek dalam dunia pendidikan yang dianggap ‘benar’
dan diterima secara sosial dan kultural pada masyarakat tertentu dan pada masa
tertentu. Mitos dapat menjadi ancaman terhadap adanya perubahan, karena
dapat menimbulkan resistensi, dan mitos dapat dijadikan alasan untuk tidak melakukan
perubahan yang positif. Namun demikian, mitos dapat pula menjadi suatu hal yang
postif sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Adalah tugas para
pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan untuk mengubah praktek pendidikan
berdasar ‘mitos’ lama, dengan praktek pendidikan yang didasarkan oleh ‘mitos’
baru yang dianggap lebih positif.
Kaitan antara ‘menyontek’ dengan mitos dalam pendidikan
Argumen yang dibangun adalah pendapat bahwa menyontek
adalah dampak dari mitos dalam dunia pendidikan, yang menganggap bahwa
keberhasilan pendidikan diperoleh dikala seseorang mendapat nilai/skor ujian
yang baik. Terdapat beberapa argumen yang mendukung pendapat tersebut. Pertama,
fonomena dunia pendidikan di Indonesia khususnya yang menitikberatkan keberhasilan
proses pendidikan berdasarkan skor ujian yang diperoleh. Misalnya saja seleksi
masuk SMP berdasar nilai UN SD. Atau seleksi masuk SMA berdasar nilai UN SMP
dan seterusnya.
Kedua, kenyataan di masyarakat pendidikan bahwa penilaian
kinerja siswa / asesmen lebih mengutamakan hasil belajar dan bukan proses
belajar. Misalnya saja, lebih banyak tes yang bersifat sumatif dan bukan yang
bersifat formatif, apalagi yang bersifat diagnostik.
Ketiga, adanya mitos bahwa suksek pendidikan adalah
sukses mendapat nilai skor tes setinggi-tingginya, dan bukan melihat kompetensi
yang nyata yang dimiliki siswa sebagai hasil dari proses pembelajaran.
Ketiga hal tersebut di atas, baik secara langsung maupun
tidak langsung, turut menekan siswa atau memotivasi siswa untuk memperoleh
hasil perolehan skor yang setinggi-tingginya pada saat tes karena ini identik
dengan keberhasilan pendidikan. Kombinasi dari ketiga faktor di atas,
ditambah dengan beban akademik siswa yang relatif berat, dapat mengakibatkan
perilaku menyontek menjadi ’jalan pintas menuju sukses’.
Refleksi
Perlu dikaji secara empiris mengenai mitos-mitos yang ada
di dalam dunia pendidikan di Indonesia secara umum, maupun di daerah-daerah
secara regional. Hal ini kelak akan membantu pihak yang ingin mengadakan perubahan
dalam praktek pendidikan dalam hal bagaimana strategi mengikis mitos-mitos lama
dalam pendidikan yang bersifat kontra produktif, dengan mitos baru yang lebih
relefan dan dianggap sebagi suatu praktek yang positif dalam dunia pendidikan
di Indonesia pada saat ini
PEMBAHASAN
6 Mitos dalam
pembelajaran klaboratif
1. Sekolah harus
menekankan persaingan
Sekolah merupakan tempat
terjadi proses belajar mengajar, disini seharusnya sekolah menekankan pada
kerjasama agar siswa secara individual mampu untuk berinteraksi dengan yang
lain sehingga dapat menimbulkan keaktifan siswa, pengetahuan siswa bertambah dan
pada akhirnya hasil belajar yang diharapkan dapat meningkat.
2. Siswa yang
berkemampuan dibebani dengan bekerja dalam kelompok belajar yang heterogen.
Dalam kelompok heterogen
semua siswa mempunyai kemampuan yang berbeda-beda sesuai dengan keahliannya masing-masing,
siswa yang mempunyai kemampuan tidak dibebani dengan semua pekerjaan dalam
kelompok tetapi mereka dibebani
pekerjaan sesuai dengan keahlian masing-masing sehingga hasil kerja mereka
dapat digabungkan dan menjadi satu kesatuan dari hasil yang mereka peroleh.
3. Setiap anggota
melakukan tugas dan mendapat nilai yang sama
Masing-masing anggota
bekerjasama dalam kelompok tapi biasanya dalam penilaian yang diberikan oleh
guru tidak sama tergantung dari keaktifan siswa dalam kelompok dan penyelesaian
tugas yang diberikan guru, semakin aktif siswa tersebut dalam kelompok maka
semakin baguslah nilai yang diperoleh oleh siswa tersebut.
4. Nilai kelompok dibagi
dengan jumlah anggota kelompok
Nilai kelompok bukan
dibagi rata pada anggota kelompok, nilai kelompok adalah perolehan nilai dari
keseluruhan yang didapatkan oleh siswa sedangkan nilai anggota didapatkan oleh
anggota berdasarkan peilaian individual oleh guru tergantung dari keaktifan
siswa.
5.Pembelajaran
kolaboratif itu mudah
Pembelajaran kolaboratif
itu susah karena harus menggabungkan siswa dari aspek ketergantungan, tanggung
jawab, perbedaan, jenis kelamin dan sebagainya sehingga diperlukan kerjasama
dan unsur pemahaman karakter antar siswa dalam berkelompok untuk mencapai hasil
atau tujuan yang diinginkan.
6. Sekolah dapat berubah
dalam sekejap
Sekolah tidak dapat
berubah dalam sekejap tetapi memerlukan proses yang lama, perubahan tersebut
terkait pada lingkungan abiotiknya yakni guru, siswa, staff administrasi.
Perubahan tersebut dapat terjadi dengan cepat apabila seluruh lingkungan
tersebut mendukung suatu perubahan
tetapi dilingkungan sekolah perubahan lambat terjadi karena lingkungan yang
heterogen dimana pola pikir semuanya berbeda maka untuk menyatukan hal tersebut
memerlukan suatu proses yang panjang.
PENUTUP
Kesimpulan
Mitos merupan suatu hal yang dianggap tidak sesuai
kenyataan pada pelaksanaan pembelajaran kolaboratif, dalam pembelajaran
kolaboratif perlu suatu gabungan unsur-unsur heterogen untuk pencapaian hasil belajar yang makimal.
Saran
Dalam pembelajaran
kolaboratif ada kelebihan dan ada kelemahan namun pembelajaran ini hendaknya
dapat diterapkan oleh guru untuk pencapaian hasil yang maksimal, dengan
pembelajaran ini dapat meningkatkan minat siswa serta motivasi dalam penguasaan
materi lebih terarah,siswa lebih bersemangat karena adanya daya saing antar
anggota kelompok dan meningkatkan minat siswa sehingga proses pembelajaran yang
konvensional dan sifat nya teacher centre tidak lagi difokuskan di sekolah
tetapi diarahkan ke student centre.