Sabtu, 24 Maret 2012

MITOS DALAM PEMBELAJARAN KOLABORATIF




6 MITOS PEMBELAJARAN KOLABORATIF

PENDAHULUAN

Pengertian Mitos
Mitos berasal dari bahawa Yunani yaitu ‘mythos’ yang berarti ‘cerita’. Secara umum kata mitos digunakan secara berbeda. Pertama, secara akademik, seringkali mitos diartikan sebagai cerita yang bersifat suci yang meliatkan simbol-simbol dengan  multi makna. Cerita yang bersifat suci tersebut mengandung makna religius atau spiritual. Penggunaan kedua adalah penggunaan kata mitos dalam arti umum. Di sini, mitos dimaknakan sebagai sekolompok kepercayaan (beliefs) yang dianut oleh orang yang menuturkan cerita tersebut. Hal ini bersifat subjektis dan terkadang menimbulkan rasa tersinggung jika suatu cerita yang dianggap benar oleh seseorang, dianggap sebagai ’mitos’ oleh orang lain (Wikipedia dictionary, 2009).

Lebih lanjut, mitos mengandung beberapa karakteristik (Magoulick, 2008), antara lain:
·        Sebuah cerita yang dianggap sebagai penjelasan yang ’benar’.
·        Bersifat fungsional dalam interaksi sosial, misalnya bagaimana hidup dengan ’benar’, asumsi dan  nilai-nilai (values) yang dianggap ’benar’, inti makna dari individu, keluarga dan komunitas sosial.
·        Menimbulkan miteri dan ’ketidaktahuan’

Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, karakteristik mitos yang bersifat fungsional yang dicetuskan oleh Malinowski (dalam Yero, 2002a) tampaknya menjadi dominan, dimana nilai-nilai, asumsi, pedoman hidup yang mengarahkan perilaku manusia dalam kehidupan sosial menjadi ciri utama dari sebuah mitos.

Mitos dalam Pendidikan
Yero (2002a) mengungkapkan bahwa mitos adalah cerita yang secara sosial dan kultural dianggap sebagai ’realitas’ yang dibangun manusia dari waktu ke waktu. Individu dalam dunia pendidikan, secara kolektif juga dapat memiliki kesamaan makna yang kelak menjadi ’cerita dalam kelompok’ (group story) yang kelak dapat menjadi sebuah mitos. Mitos ini dianggap ’benar’  sejauh hal itu mencerminkan dan diterima oleh kultur dari masyarakat tersebut. Sejalan dengan waktu, budaya masyarakat tersebut mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi karena adanya pengetahuan baru, atau penemuan baru. Namun demikian, mitos yang ada tidak mudah pudar begitu saja. Mitos ini baru akan pudar,  jika hal tersebut sudah dianggap tidak terlalu memiliki relevansi lagi dengan pengalaman kultural yang dialami masyarakat saat ini.
Dalam dunia pendidikan, hal ini juga terjadi, dimana nilai-nilai dan praktek-praktek pendidikan yang dianggap ’benar’ dan diyakini oleh masyarakat dan diterima secara sosial dan kultural, cenderung bertahan dan relatif sulit untuk diubah dengan cepat. Contoh, dalam praktek pendisiplinan siswa di berbagai daerah di Indonesia, berdasarkan pengalaman penulis, masih cukup banyak guru yang menggunakan kekerasan (corporal punishment) untuk mendisiplinkan siswa.
Comb (dalam Yero, 2002b) menyatakan beberapa sisi negatif dari mitos yang dapat menjelaskan contoh yang diungkapkan di atas. Pertama, mitos diungkapkan sebagai dikotomi sehingga dapat menghambat penggunaan strategi yang variatif dan berbeda. Contohnya, pembelajaran secara individu atau kolaboratif, standardisasi penilaian atau penilaian secara individual, atau misalnya pendisiplinan yang bersifat ’keras’ dengan tindakan yang ’keras’ atau mengandung kekerasan, atau pendisiplinan siswa tanpa kekerasan.
Kedua, mitos dapat menjustifikasi tindakan guru. Akan selalu ada alasan pembenaran mengenai penggunaan kekerasan dalam pendisiplinan siswa. Misalnya: ‘Oh ini memang sesuai kultur di Indonesia bagian timur, ini bukan seperti di Jawa’ atau ‘Jika tidak dengan cara demikian, siswa di sini tidak akan menurut atau menghormati gurunya’.
Ketiga, mitos dapat terinstitusionalisasi sehingga jika dipertanyakan, akan menimbulkan resistensi. Misalnya jika ada guru yang mempertanyakan praktek penggunaan kekerasan untuk mendisiplinkan siswa, ia dapat dianggap ‘aneh’ karena hal itu begitu umum terjadi dan dipraktekan sehari-hari di daerah tersebut.  
Namun demikian, di sisi yang lain, mitos juga dapat menjadi suatu hal yang bersifat positif. Misalnya sehubungan dengan karakteristik guru yang efektif, terdapat beberapa kepercayaan (beliefs) yang dapat menjadi suatu mitos (Yero, 2002b), yaitu bahwa: semua siswa mampu belajar, namun dengan cara yang bervariasi, atau pendekatan yang holistik dapat membantu siswa belajar dengan lebih baik. Guru, sebagaimana dengan siswa juga sebagai sesama pembelajar. Atau bahwa guru harus mengenal siswa secara infividual pula sehingga dapat mendukung perkembangan intelektual, sosial maupun emosional siswa.
Beliefs’ yang dapat menjadi mitos ini, jika diterima oleh masyarakat sebagai suatu ‘kebenaran’, akan dapat mengubah praktek pendidikan sehari-hari di sekolah. Oleh karena itu, jika saat ini hal-hal yang tersebut di atas dianggap sebagai suatu praktek pendidikan yang ‘benar’, maka mitos lama secara berangsur akan terkikis dan digantikan oleh mitos baru tersebut. Di sinilah tugas dari para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk berupaya secara kolektif mengikis praktek pendidikan yang didasarkan oleh ‘mitos’ lama, dengan praktek pendidikan yang didasarkan oleh ‘mitos’ yang baru tersebut. 
Sebagai kesimpulan, mitos dalam dunia pendidikan lebih bersifat fungsional. Artinya, ada nilai-nilai, pendapat, praktek dalam dunia pendidikan yang dianggap ‘benar’ dan diterima secara sosial dan kultural pada masyarakat tertentu dan pada masa tertentu.  Mitos dapat menjadi ancaman terhadap adanya perubahan, karena dapat menimbulkan resistensi, dan mitos dapat dijadikan alasan untuk tidak melakukan perubahan yang positif. Namun demikian, mitos dapat pula menjadi suatu hal yang postif sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Adalah tugas para pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan untuk mengubah praktek pendidikan berdasar ‘mitos’ lama, dengan praktek pendidikan yang didasarkan oleh ‘mitos’ baru yang dianggap lebih positif.

Kaitan antara ‘menyontek’ dengan mitos dalam pendidikan
Argumen yang dibangun adalah pendapat bahwa menyontek adalah dampak dari mitos dalam dunia pendidikan, yang menganggap bahwa keberhasilan pendidikan diperoleh dikala seseorang mendapat nilai/skor ujian yang baik. Terdapat beberapa argumen yang mendukung pendapat tersebut. Pertama, fonomena dunia pendidikan di Indonesia khususnya yang menitikberatkan keberhasilan proses pendidikan berdasarkan skor ujian yang diperoleh. Misalnya saja seleksi masuk SMP berdasar nilai UN SD. Atau seleksi masuk SMA berdasar nilai UN SMP dan seterusnya.  
Kedua, kenyataan di masyarakat pendidikan bahwa penilaian kinerja siswa / asesmen lebih mengutamakan hasil belajar dan bukan proses belajar. Misalnya saja, lebih banyak tes yang bersifat sumatif dan bukan yang bersifat formatif, apalagi yang bersifat diagnostik.
Ketiga, adanya mitos bahwa suksek pendidikan adalah sukses mendapat nilai skor tes setinggi-tingginya, dan bukan melihat kompetensi yang nyata yang dimiliki siswa sebagai hasil dari proses pembelajaran.
Ketiga hal tersebut di atas, baik secara langsung maupun tidak langsung, turut menekan siswa atau memotivasi siswa untuk memperoleh hasil perolehan skor yang setinggi-tingginya pada saat tes karena ini identik dengan keberhasilan pendidikan. Kombinasi dari ketiga faktor di atas,  ditambah dengan beban akademik siswa yang relatif berat, dapat mengakibatkan perilaku menyontek menjadi ’jalan pintas menuju sukses’.

Refleksi
Perlu dikaji secara empiris mengenai mitos-mitos yang ada di dalam dunia pendidikan di Indonesia secara umum, maupun di daerah-daerah secara regional. Hal ini kelak akan membantu pihak yang ingin mengadakan perubahan dalam praktek pendidikan dalam hal bagaimana strategi mengikis mitos-mitos lama dalam pendidikan yang bersifat kontra produktif, dengan mitos baru yang lebih relefan dan dianggap sebagi suatu praktek yang positif dalam dunia pendidikan di Indonesia pada saat ini 

PEMBAHASAN
6 Mitos dalam pembelajaran klaboratif
1. Sekolah harus menekankan persaingan
Sekolah merupakan tempat terjadi proses belajar mengajar, disini seharusnya sekolah menekankan pada kerjasama agar siswa secara individual mampu untuk berinteraksi dengan yang lain sehingga dapat menimbulkan keaktifan siswa, pengetahuan siswa bertambah dan pada akhirnya hasil belajar yang diharapkan dapat meningkat.
2. Siswa yang berkemampuan dibebani dengan bekerja dalam kelompok belajar yang heterogen.
Dalam kelompok heterogen semua siswa mempunyai kemampuan yang berbeda-beda  sesuai dengan keahliannya masing-masing, siswa yang mempunyai kemampuan tidak dibebani dengan semua pekerjaan dalam kelompok  tetapi mereka dibebani pekerjaan sesuai dengan keahlian masing-masing sehingga hasil kerja mereka dapat digabungkan dan menjadi satu kesatuan dari hasil yang mereka peroleh.
3. Setiap anggota melakukan tugas dan mendapat nilai yang sama
Masing-masing anggota bekerjasama dalam kelompok tapi biasanya dalam penilaian yang diberikan oleh guru tidak sama tergantung dari keaktifan siswa dalam kelompok dan penyelesaian tugas yang diberikan guru, semakin aktif siswa tersebut dalam kelompok maka semakin baguslah nilai yang diperoleh oleh siswa tersebut.
4. Nilai kelompok dibagi dengan jumlah anggota kelompok
Nilai kelompok bukan dibagi rata pada anggota kelompok, nilai kelompok adalah perolehan nilai dari keseluruhan yang didapatkan oleh siswa sedangkan nilai anggota didapatkan oleh anggota berdasarkan peilaian individual oleh guru tergantung dari keaktifan siswa.
5.Pembelajaran kolaboratif itu mudah
Pembelajaran kolaboratif itu susah karena harus menggabungkan siswa dari aspek ketergantungan, tanggung jawab, perbedaan, jenis kelamin dan sebagainya sehingga diperlukan kerjasama dan unsur pemahaman karakter antar siswa dalam berkelompok untuk mencapai hasil atau tujuan yang diinginkan.
6. Sekolah dapat berubah dalam sekejap
Sekolah tidak dapat berubah dalam sekejap tetapi memerlukan proses yang lama, perubahan tersebut terkait pada lingkungan abiotiknya yakni guru, siswa, staff administrasi. Perubahan tersebut dapat terjadi dengan cepat apabila seluruh lingkungan tersebut mendukung suatu  perubahan tetapi dilingkungan sekolah perubahan lambat terjadi karena lingkungan yang heterogen dimana pola pikir semuanya berbeda maka untuk menyatukan hal tersebut memerlukan suatu proses yang panjang.
PENUTUP
Kesimpulan
                Mitos merupan suatu hal yang dianggap tidak sesuai kenyataan pada pelaksanaan pembelajaran kolaboratif, dalam pembelajaran kolaboratif perlu suatu gabungan unsur-unsur heterogen  untuk pencapaian hasil belajar yang makimal.

Saran
Dalam pembelajaran kolaboratif ada kelebihan dan ada kelemahan namun pembelajaran ini hendaknya dapat diterapkan oleh guru untuk pencapaian hasil yang maksimal, dengan pembelajaran ini dapat meningkatkan minat siswa serta motivasi dalam penguasaan materi lebih terarah,siswa lebih bersemangat karena adanya daya saing antar anggota kelompok dan meningkatkan minat siswa sehingga proses pembelajaran yang konvensional dan sifat nya teacher centre tidak lagi difokuskan di sekolah tetapi diarahkan ke student centre.

Makalah Sejarah TP

SEJARAH PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN

Definisi teknologi pendidikan pada awal tahun 1920 dipandang sebagai media. Akar terbentuknya pandangan ini terjadi ketika pertama kali diproduksi media pendidikan pada awal abad dua puluhan. Media ini, sebagai media pembelajaran visual yang berupa film, gambar dan tampilan yang mulai ramai pada tahun 1920. definisi formal pembelajaran visual terfokus pada media yang digunakan untuk menampilkan sebuah pelajaran. Pandangan ini berlanjut sampai 1950.
Tahun 1960 dan 1970 Teknologi Pendidikan diapandang sebagai suatu proses
Awal tahun 1950, khususnya selama tahun 1960 dan 1970 sejumlah ahli dalam bidang pendidikan mulai mendiskusiakan teknologi pendidikan dalam suatu yang berbeda. Mereka membahasnya sebagai suatu proses. Contohnya Finn (1960) mengatakan bahwa teknologi pendidikan harus dipandang sebagai suatu cara untuk melihat masalah pendidikan dan mneguji kemungkinan solusi dari masalah tersebut. Sedangkan Lumsdaine (1964) mengatakan bahwa teknologi pendidikan dapat dijadikan aplikasi ilmu pengetahuan pada praktek pendidikan. Pada tahun 1960an dan 1970 banayak definisi teknologi pendidikan yang dipandang sebagai suatu proses.
Definisi 1963
Di tahun 1963, definisi teknologi pendidikan digambarkan bukan hanya sebagai sebuah media. Definisi ini (Ey, 1963) menghasilkan dengan suatu komisi pengawas yang dibentuk olep Departemen Pendidikan Audiovisual (sekarang dikenal sebagai Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan). Hal ini merupakan suatu hal yang berangkat dari pandangan “tradisional” terhadap teknologi pendidikan. Definisi kini lebih memusat pada desain pembelajaran dan penggunaan media sebagai pengendalian proses belajar (p. 38). Lebih dari itu pengertian kini lebih menganali serangkaian langkah-langkah penerapan, perancangan, dan penggunaan. Langkah-langkah ini mencakup perencanaan, produksi, pemilihan, pemanfaatan, dan manajemen. Perubahan disini mencerminkan bahwa, bagaimana lingkungan dan kemajuan zaman dapat mengubah sebuah definisi dan praktek dari teknologi pendidikan.
Definisi 1970
Definisi selanjutnya merupakan definisi tahun 1970-an yang dikeluarkan oleh Komisi Pengawas Teknologi Pendidikan. Komisi pengawas ini dibentuk dan dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat untuk menguji permasalahan dan manfaat potensial yang berhubungan dengan teknologi pendidikan di sekolah-sekolah.
Teknologi pendidikan adalah suatu cara yang sistematis dalam mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi proses keseluruhan dari belajar dan pembelajaran dalam bentuk tujuan pembelajaran yang spesifik, berdasarkan penelitian dalam teori belajar dan komunikasi pada manusia dan mengunakan kombinasi sumber-sumber belajar dari manusia maupun non manusia untuk membuat pembelajaran lebih efektif. Jadi menurut konsep ini tujuan utama teknologi pembelajaran adalah membuat agar suatu pembelajaran lebih efektif. Bagaimana hal itu dilakukan? Dengan cara mendesain, melaksanakan dan mengevaluasi secara sistematis berdasarkan teori komunikasi dan belajar tentunya, serta memanfaatkan segala sumber baik yang bersifat manusia maupun non manusia, dengan demikian, sejak tahun 1970an, sudah ada pandangan bahwa manusia (dalam hal ini guru) bukanlah satu-satunya sumber belajar.
Definisi 1977
Teknologi Pendidikan adalah proses kompleks yang terintegerasi meliputi orang, prosedur, gagasan, sarana dan organisasi untuk menganalisa masalah dan merancang. Melaksanakan, menilai dan mengelola pemecahan masalah dalam segala aspek belajar manusia.
Definisi 1994
Teknologi instruksional adalah praktek dalam mendesain, mengembangkan, memanfaatkan, mengelola dan menilai proses-proses maupun sumber-sumber balajar. Definisi ini lebih operasional dari pada rumusan tahun 1977 yang terlalu rumit, definisi ini menegaskan bahwa adanya lima dominant teknologi pembelajaran, yaitu kawasan desain, kawasan pengemabangan, kawasan pemanfaatan, kawasan pengelolaan, dan kawasan penilaian baik untuk proses maupun sumber belajar, seorang teknolog pembelajaran bias saja memfokuskan bidang garapannya dalam salah satu kawasan tersebut.
Definisi baru : menyatakan peran media, desain pembelajaran sistematis, dan pendayagunaan teknologi.
Bidang teknologi dan desain pembelajaran mencakup analisis pembelajaran dan pencapaian masalah serta rancangan, pengembangan, pemanfaatan, evaluasi, manajemen, pembeljaaran, proses non pembelajaran untuk meningkatkan pencapaian pelajaran dalam berbagai peraturan, bidang pendidikan dan tempat kerja. Para ahli bidang desain pembelajaran dan teknologi sering menggunakan prosedur desain pembelajaran yang sistematis dari berbagai media pembelajaran untuk menyelesaikan tujuan mereka.Definisi ini menggaris bawahi dua praktek yaitu penggunaan media untuk tujuan pendidikan dan penggunaan prosedur desain pembelajaran yang sistematis.
Mengapa kita menyebutnya desain pembelajaran dan teknologi ?
Definisi berbeda dari yang sebelumnya. Lebih mengacu pada bidang desain pembelajaran dan teknologi dibandingkan dengan teknologi pembeljaaran. Mengapa kebanyakan individu menggambarkan istilah teknologi pembelajaran dengan komputer, video, OHP, dan segala jenis hardware dan software lainnya yang berhubungan dengan media pembelajaran. Dengan kata lain banyak individu yang menyamakan teknologi pembelajaran dengan desain pembelajaran. Praktek desain pembelajaran sudah meletus sehingga banyak digunakan oleh individu yang menyebut diri mereka perancang pembelajaran.

WELCOME TP B PEKANBARU

Semoga kita bisa menjaln komunikasi lancar....

Sabtu, 10 Maret 2012

Tugas teori belajar

 ROBERT MILL GAGNE (TOKOH, TEORI YANG DIANUT DAN IMPLIKASI DALAM PEMBELAJARAN )

1.TOKOH
Robert Mills Gagne (21 Agustus 1916 – 28 April 2002), Gagne lahir diAndover Utara, Massachusetts.25 Ia mendapatkan gelar A.B dari Universitas Yale pada tahun 1937 dan gelar Ph.D dari Universitas Brown pada tahun 1940. Dia adalah seorang Professor dalam bidang psikologi dan psikologi pendidikan di Connecticut College khusus wanita (1940-1949), Universitas Negara bagianPensylvania (1945-1946), Professor di Departemen penelitian pendidikan diUniversitas Negara bagian Florida di Tallahasse mulai tahun 1969. Gagne juga menjabat sebagai direktur riset untuk angkatan udara (1949-1958) di Lackland,Texas dan Lowry, Colorado. Ia pernah bekerja sebagai konsultan dari departemen pertahanan (1958-1961) dan untuk dinas pendidikan Amerika Serikat (1964-1966), selain itu ia juga bekerja sebagai direktur riset pada Institut penelitianAmerika di Pittsburgh (1962-1965).Hasil kerja Gagne memiliki pengaruh besar pada pendidikan Amerika dan pada pelatihan militer dan industri.
2. TEORI YANG DIANUT
Di antara tokoh-tokoh terkenal yang melakukan penelitian tentang teori belajar adalah Robert Gagne. R. Gagne adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Ia mengemukakan teorinya yang terkenal yaitu Condition of Learning. Teorinya menjelaskan tiga hal, yaitu taksonomi hasil belajar, kondisi belajar khusus, dan 9 peristiwa pembelajaran.
R Gagne mengkategorikan taksonomi hasil belajar dalam lima komponen, yaitu: informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap, dan keterampilan motorik. Jadi, tiga ranah dalam taksonomi Bloom tercakup semua disini. Kenapa Gagne mengelompokkannya kedalam lima komponen? Ia mengatakan, hal tersebut dikarenakan atas asumsi bahwa hasil belajar yang berbeda tersebut memerlukan kondisi belajar yang berbeda pula. Artinya, untuk membangun strategi kognitif siswa memerlukan kondisi berbeda dengan ketika kita ingin membangun sikap atau keterampilan motorik. Taksonomi yang dibuat oleh Gagne ini adalah taksonomi hasil belajar pertama, sebelum dibenahi oleh Bloom dkk, dan sekarang tahun 1999 lalu telah diperbaiki oleh Crathwol dkk.
Hal kedua dari teorinya Gagne adalah kondisi belajar khusus (specifik learning condition). Ia menekankan bahwa sangatlah penting untuk mengkategorisasikan tujuan pembelajaran sesuai dengan tipe hasil belajar, alias taksonomi seperti dijelaskan di atas. Dengan cara seperti ini guru/tutor/dosen dapat merancang pembelajarannya untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Ia juga menekankan bahwa untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, harus sangat  memperhatikan kondisi khusus (critical condition) yang harus disiapkan untuk mencapai itu. Misal, jika tujuan pembelajaran yang ingin dicapai adalah mengingat sejumlah kosa kata, katakanlah maka kita harus menyiapkan kondisi khusus yaitu berupa petunjuk (cues) atau tips alias trik tertentu, sehingga siswa bisa mengingat dan memahaminya.
Hal ketiga adalah 9 peristiwa pembelajaran, yaitu:
1.   Gaining Attention; yaitu upaya atau cara kita untuk meraih perhatian siswa.
2.  Informing learner of the objectives; memberitahukan siswa tujuan pembelajaran yang akan mereka capai/peroleh;
3.  stimulating recall of prior learning; guru biasa menyebutnya dengan appersepsi, yaitu merangsang siswa untuk mengingat pelajaran terkait sebelumnya dan menghubungkannya dengan apa yang akan dipelajari berikutnya;
4.  Presenting stimulus; setelah itu mulailah dengan menyajikan stimulus;
5.  Providing learning guidance; berikan bimbingan belajar;
6.  Eliciting performance; tingkatkan kinerja;
7.  Providing feed back; alias berikan umpan balik;
8.  Assessing performance; ukur capaian hasil belajar mereka;
9.  Enhancing retention and transfer; tingkatkan capaian hasil belajar sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan untuk dicapai.
3. PENERAPAN/ IMPLIKASI TEORI GAGNE DALAM PEMBELAJARAN
Gagne menguji Teori pembelajaran hirarki belajar, terutama menggunakan keterampilan aritmatika sederahana. Temuannya cenderung mendukung gagasan hirarki pembelajaran dan menujukkan bahwa individu jarang mempelajari keterampilan yang lebih tanpa sebelumnya tahu keahlian atau keterampilan yang lebih rendah.26 Pendekatan Gagne pada pembelajaran dan pengajaran, terutama pada pendekatan desain sistem pengajaran, yang kadang-kadang dikritik sebagai yang paling pantas untuk kemahiran belajar informasi dan obyek ketrampilan intellektual, tidak diragukan lagi untuk sikap dan strategi kognitif, hasilnya tidak diragukan lagi hasil kerja Gagne mempunyai dampak yang cukup besar pada teori dan pemikirannya di kalangan pendidikan.Teori hirarkinya tentang langkah-langkah prasyaratan dalam pembelajaran mempunyai banyak implikasi untuk peruntunan instruksi dan ia merasa banyakmemberikan konstribusi untuk pengembangan pendekatan ilmu pengetahuan pada pengajaran
     - Model Kondisi  Belajar Robet Gagne
Teori tentang desain pembelajaran sangat dipengaruhi oleh teori behavioris dalam bukunya ‘The Condition Of Learning (Gagne 1965). Kemudian pada buku berikutnya Gagne menggabungkan teorinya tentang desain pembelajaran dengan teori psikologi kognitif terutama tentang model pemrosesan informasi.Menurut Gagne (1974) , pembelajaran dipengaruhi olehbeberapa kejadian internal  yang berkaitan dengan berbagai pengaruh kejadian eksternal. Proses internal yang terjadi dalam diri pebelajar meliputi : perhatian pebelajar tehadap sesuatu, pemilihan persepsi atau pandangan pebelajar terhadap sesuatu, pemberian arti terhadap kata-kata yang disebut pengkodean semantic, perolehan kembali suatu informasi, pengelolan respon, proses pengawasan dan harapan.
   -Kelompok model yang memproses informasi
Model berpikir induktif:  model induktif memliki struktur pemutaran yang berkembang setiap waktu . Esensi proses induktif adalah pengumpulan dan penyaringan informasi yang tiada henti  , pembangunan gagasan, khususnya katagori-katagori yang menyediakan control konseptual atas daerah-daerah informasi , penciptaan hipotesis untuk dieksplorasi dalam upaya memahami hubungan-hubungan yang lebih baik atau menyediakan solusi untuk berbagai masalah dan perubahan pengetahuan.menjadi ketrampilan yang memiliki aplikasi praktis. Dampak instruksional dan pengiringStrategi –strategi penemuan konssep dapat menyempurnakan tujuan –tujuan instruksional, bergantung pada tekanan pelajaran. Strategi-strategi ini dirancang untuk mengajarkan konsep yang spesifik dan sifat-sifat dari konsep konsepitu.   Langkah-langkah pembelajaran1.Guru menyampaikan kompetensi yang akan dicapai,2.Guru menyampaikan topic /materi pembelajaran,3.Guru menyajikan data kepada siswa untuk menemukan konsep, siswa menyusun pengetesan pencapaian konsep dengan analisis berpikir