Sabtu, 24 Maret 2012

MITOS DALAM PEMBELAJARAN KOLABORATIF




6 MITOS PEMBELAJARAN KOLABORATIF

PENDAHULUAN

Pengertian Mitos
Mitos berasal dari bahawa Yunani yaitu ‘mythos’ yang berarti ‘cerita’. Secara umum kata mitos digunakan secara berbeda. Pertama, secara akademik, seringkali mitos diartikan sebagai cerita yang bersifat suci yang meliatkan simbol-simbol dengan  multi makna. Cerita yang bersifat suci tersebut mengandung makna religius atau spiritual. Penggunaan kedua adalah penggunaan kata mitos dalam arti umum. Di sini, mitos dimaknakan sebagai sekolompok kepercayaan (beliefs) yang dianut oleh orang yang menuturkan cerita tersebut. Hal ini bersifat subjektis dan terkadang menimbulkan rasa tersinggung jika suatu cerita yang dianggap benar oleh seseorang, dianggap sebagai ’mitos’ oleh orang lain (Wikipedia dictionary, 2009).

Lebih lanjut, mitos mengandung beberapa karakteristik (Magoulick, 2008), antara lain:
·        Sebuah cerita yang dianggap sebagai penjelasan yang ’benar’.
·        Bersifat fungsional dalam interaksi sosial, misalnya bagaimana hidup dengan ’benar’, asumsi dan  nilai-nilai (values) yang dianggap ’benar’, inti makna dari individu, keluarga dan komunitas sosial.
·        Menimbulkan miteri dan ’ketidaktahuan’

Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, karakteristik mitos yang bersifat fungsional yang dicetuskan oleh Malinowski (dalam Yero, 2002a) tampaknya menjadi dominan, dimana nilai-nilai, asumsi, pedoman hidup yang mengarahkan perilaku manusia dalam kehidupan sosial menjadi ciri utama dari sebuah mitos.

Mitos dalam Pendidikan
Yero (2002a) mengungkapkan bahwa mitos adalah cerita yang secara sosial dan kultural dianggap sebagai ’realitas’ yang dibangun manusia dari waktu ke waktu. Individu dalam dunia pendidikan, secara kolektif juga dapat memiliki kesamaan makna yang kelak menjadi ’cerita dalam kelompok’ (group story) yang kelak dapat menjadi sebuah mitos. Mitos ini dianggap ’benar’  sejauh hal itu mencerminkan dan diterima oleh kultur dari masyarakat tersebut. Sejalan dengan waktu, budaya masyarakat tersebut mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi karena adanya pengetahuan baru, atau penemuan baru. Namun demikian, mitos yang ada tidak mudah pudar begitu saja. Mitos ini baru akan pudar,  jika hal tersebut sudah dianggap tidak terlalu memiliki relevansi lagi dengan pengalaman kultural yang dialami masyarakat saat ini.
Dalam dunia pendidikan, hal ini juga terjadi, dimana nilai-nilai dan praktek-praktek pendidikan yang dianggap ’benar’ dan diyakini oleh masyarakat dan diterima secara sosial dan kultural, cenderung bertahan dan relatif sulit untuk diubah dengan cepat. Contoh, dalam praktek pendisiplinan siswa di berbagai daerah di Indonesia, berdasarkan pengalaman penulis, masih cukup banyak guru yang menggunakan kekerasan (corporal punishment) untuk mendisiplinkan siswa.
Comb (dalam Yero, 2002b) menyatakan beberapa sisi negatif dari mitos yang dapat menjelaskan contoh yang diungkapkan di atas. Pertama, mitos diungkapkan sebagai dikotomi sehingga dapat menghambat penggunaan strategi yang variatif dan berbeda. Contohnya, pembelajaran secara individu atau kolaboratif, standardisasi penilaian atau penilaian secara individual, atau misalnya pendisiplinan yang bersifat ’keras’ dengan tindakan yang ’keras’ atau mengandung kekerasan, atau pendisiplinan siswa tanpa kekerasan.
Kedua, mitos dapat menjustifikasi tindakan guru. Akan selalu ada alasan pembenaran mengenai penggunaan kekerasan dalam pendisiplinan siswa. Misalnya: ‘Oh ini memang sesuai kultur di Indonesia bagian timur, ini bukan seperti di Jawa’ atau ‘Jika tidak dengan cara demikian, siswa di sini tidak akan menurut atau menghormati gurunya’.
Ketiga, mitos dapat terinstitusionalisasi sehingga jika dipertanyakan, akan menimbulkan resistensi. Misalnya jika ada guru yang mempertanyakan praktek penggunaan kekerasan untuk mendisiplinkan siswa, ia dapat dianggap ‘aneh’ karena hal itu begitu umum terjadi dan dipraktekan sehari-hari di daerah tersebut.  
Namun demikian, di sisi yang lain, mitos juga dapat menjadi suatu hal yang bersifat positif. Misalnya sehubungan dengan karakteristik guru yang efektif, terdapat beberapa kepercayaan (beliefs) yang dapat menjadi suatu mitos (Yero, 2002b), yaitu bahwa: semua siswa mampu belajar, namun dengan cara yang bervariasi, atau pendekatan yang holistik dapat membantu siswa belajar dengan lebih baik. Guru, sebagaimana dengan siswa juga sebagai sesama pembelajar. Atau bahwa guru harus mengenal siswa secara infividual pula sehingga dapat mendukung perkembangan intelektual, sosial maupun emosional siswa.
Beliefs’ yang dapat menjadi mitos ini, jika diterima oleh masyarakat sebagai suatu ‘kebenaran’, akan dapat mengubah praktek pendidikan sehari-hari di sekolah. Oleh karena itu, jika saat ini hal-hal yang tersebut di atas dianggap sebagai suatu praktek pendidikan yang ‘benar’, maka mitos lama secara berangsur akan terkikis dan digantikan oleh mitos baru tersebut. Di sinilah tugas dari para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk berupaya secara kolektif mengikis praktek pendidikan yang didasarkan oleh ‘mitos’ lama, dengan praktek pendidikan yang didasarkan oleh ‘mitos’ yang baru tersebut. 
Sebagai kesimpulan, mitos dalam dunia pendidikan lebih bersifat fungsional. Artinya, ada nilai-nilai, pendapat, praktek dalam dunia pendidikan yang dianggap ‘benar’ dan diterima secara sosial dan kultural pada masyarakat tertentu dan pada masa tertentu.  Mitos dapat menjadi ancaman terhadap adanya perubahan, karena dapat menimbulkan resistensi, dan mitos dapat dijadikan alasan untuk tidak melakukan perubahan yang positif. Namun demikian, mitos dapat pula menjadi suatu hal yang postif sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Adalah tugas para pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan untuk mengubah praktek pendidikan berdasar ‘mitos’ lama, dengan praktek pendidikan yang didasarkan oleh ‘mitos’ baru yang dianggap lebih positif.

Kaitan antara ‘menyontek’ dengan mitos dalam pendidikan
Argumen yang dibangun adalah pendapat bahwa menyontek adalah dampak dari mitos dalam dunia pendidikan, yang menganggap bahwa keberhasilan pendidikan diperoleh dikala seseorang mendapat nilai/skor ujian yang baik. Terdapat beberapa argumen yang mendukung pendapat tersebut. Pertama, fonomena dunia pendidikan di Indonesia khususnya yang menitikberatkan keberhasilan proses pendidikan berdasarkan skor ujian yang diperoleh. Misalnya saja seleksi masuk SMP berdasar nilai UN SD. Atau seleksi masuk SMA berdasar nilai UN SMP dan seterusnya.  
Kedua, kenyataan di masyarakat pendidikan bahwa penilaian kinerja siswa / asesmen lebih mengutamakan hasil belajar dan bukan proses belajar. Misalnya saja, lebih banyak tes yang bersifat sumatif dan bukan yang bersifat formatif, apalagi yang bersifat diagnostik.
Ketiga, adanya mitos bahwa suksek pendidikan adalah sukses mendapat nilai skor tes setinggi-tingginya, dan bukan melihat kompetensi yang nyata yang dimiliki siswa sebagai hasil dari proses pembelajaran.
Ketiga hal tersebut di atas, baik secara langsung maupun tidak langsung, turut menekan siswa atau memotivasi siswa untuk memperoleh hasil perolehan skor yang setinggi-tingginya pada saat tes karena ini identik dengan keberhasilan pendidikan. Kombinasi dari ketiga faktor di atas,  ditambah dengan beban akademik siswa yang relatif berat, dapat mengakibatkan perilaku menyontek menjadi ’jalan pintas menuju sukses’.

Refleksi
Perlu dikaji secara empiris mengenai mitos-mitos yang ada di dalam dunia pendidikan di Indonesia secara umum, maupun di daerah-daerah secara regional. Hal ini kelak akan membantu pihak yang ingin mengadakan perubahan dalam praktek pendidikan dalam hal bagaimana strategi mengikis mitos-mitos lama dalam pendidikan yang bersifat kontra produktif, dengan mitos baru yang lebih relefan dan dianggap sebagi suatu praktek yang positif dalam dunia pendidikan di Indonesia pada saat ini 

PEMBAHASAN
6 Mitos dalam pembelajaran klaboratif
1. Sekolah harus menekankan persaingan
Sekolah merupakan tempat terjadi proses belajar mengajar, disini seharusnya sekolah menekankan pada kerjasama agar siswa secara individual mampu untuk berinteraksi dengan yang lain sehingga dapat menimbulkan keaktifan siswa, pengetahuan siswa bertambah dan pada akhirnya hasil belajar yang diharapkan dapat meningkat.
2. Siswa yang berkemampuan dibebani dengan bekerja dalam kelompok belajar yang heterogen.
Dalam kelompok heterogen semua siswa mempunyai kemampuan yang berbeda-beda  sesuai dengan keahliannya masing-masing, siswa yang mempunyai kemampuan tidak dibebani dengan semua pekerjaan dalam kelompok  tetapi mereka dibebani pekerjaan sesuai dengan keahlian masing-masing sehingga hasil kerja mereka dapat digabungkan dan menjadi satu kesatuan dari hasil yang mereka peroleh.
3. Setiap anggota melakukan tugas dan mendapat nilai yang sama
Masing-masing anggota bekerjasama dalam kelompok tapi biasanya dalam penilaian yang diberikan oleh guru tidak sama tergantung dari keaktifan siswa dalam kelompok dan penyelesaian tugas yang diberikan guru, semakin aktif siswa tersebut dalam kelompok maka semakin baguslah nilai yang diperoleh oleh siswa tersebut.
4. Nilai kelompok dibagi dengan jumlah anggota kelompok
Nilai kelompok bukan dibagi rata pada anggota kelompok, nilai kelompok adalah perolehan nilai dari keseluruhan yang didapatkan oleh siswa sedangkan nilai anggota didapatkan oleh anggota berdasarkan peilaian individual oleh guru tergantung dari keaktifan siswa.
5.Pembelajaran kolaboratif itu mudah
Pembelajaran kolaboratif itu susah karena harus menggabungkan siswa dari aspek ketergantungan, tanggung jawab, perbedaan, jenis kelamin dan sebagainya sehingga diperlukan kerjasama dan unsur pemahaman karakter antar siswa dalam berkelompok untuk mencapai hasil atau tujuan yang diinginkan.
6. Sekolah dapat berubah dalam sekejap
Sekolah tidak dapat berubah dalam sekejap tetapi memerlukan proses yang lama, perubahan tersebut terkait pada lingkungan abiotiknya yakni guru, siswa, staff administrasi. Perubahan tersebut dapat terjadi dengan cepat apabila seluruh lingkungan tersebut mendukung suatu  perubahan tetapi dilingkungan sekolah perubahan lambat terjadi karena lingkungan yang heterogen dimana pola pikir semuanya berbeda maka untuk menyatukan hal tersebut memerlukan suatu proses yang panjang.
PENUTUP
Kesimpulan
                Mitos merupan suatu hal yang dianggap tidak sesuai kenyataan pada pelaksanaan pembelajaran kolaboratif, dalam pembelajaran kolaboratif perlu suatu gabungan unsur-unsur heterogen  untuk pencapaian hasil belajar yang makimal.

Saran
Dalam pembelajaran kolaboratif ada kelebihan dan ada kelemahan namun pembelajaran ini hendaknya dapat diterapkan oleh guru untuk pencapaian hasil yang maksimal, dengan pembelajaran ini dapat meningkatkan minat siswa serta motivasi dalam penguasaan materi lebih terarah,siswa lebih bersemangat karena adanya daya saing antar anggota kelompok dan meningkatkan minat siswa sehingga proses pembelajaran yang konvensional dan sifat nya teacher centre tidak lagi difokuskan di sekolah tetapi diarahkan ke student centre.

2 komentar: